SELAMAT DATANG DI BLOG HADI SAFRIANDA

Thursday, March 10, 2011

Gayoku Sayang Gayoku Malang

Posted by HADI SAFRIANDA On 1:33 PM No comments

(Mirip Judul Sinetron)


Phenomena yang berkembang belakangan ini di tanoh gayo sangat mencengangkan bahkan menusuk relung hati yang terdalam, pemberitaan negatif disurat kabar bahkan majalah, dan itu bukan hanya sebatas kolom kecil tetapi sudah menjadi headline. Kita lihat saja berita harian lokal yang memberitakan Guru dilaporkan ke polisi hanya karena “menghukum” muridnya yang kurang memiliki tata krama, kepala sekolah didemo karena siswa menilai sang kepala sekolah “arogan” dalam menegakkan suatu peraturan.

Hari ini saya kembali dibuat sedih dengan berita di surat kabar terbitan, para pedagang sudah melanggar kesepakatan berjualan dipasar pagi (analisa, 9 maret 2011) dan surat kabar lokal memberitakan pedagang ikan mendatangi disperindag karena protes masih ada sebagian pedagang berjualan bukan pada tempat dan waktu yang dizinkan. Lalu kemanakah perginya Gayoku yang dulu bersahaja dan memegang teguh adat dan budaya, sehingga untuk melakukan tindakan apapun selalu dikaitkan dengan adat-istiadat, seperti “sumang”. Sumang sendiri diartikan sebagai standar moral yang menekankan supaya orang tidak melakukan perbuatan semena-mena yang melanggar ajaran agama, etika sosial dan moral dalam masyarakat. (penulis, tahun).

Lalu, kemanakah sudah sumang tersebut berangkat?, pertanyaan tersebut memang sangat sulit dijelaskan, karena budaya gayo itu sendiri sangat terbuka dalam penerimaan hal-hal baru, artinya bisa mengikuti perubahan zaman dan lebih menerima globalisasi. Termasuk penurunan degradasi moral seperti perkelahian dua siswi, disalah satu sekolah terkemuka hal ini mungkin mengikuti trend yang berkembang  secara nasional (trend geng siswi), lalu budaya ukang (baca: premanisme), budaya ini telah berasimilasi seperti kanker yang menggerogoti yang membuat penderitanya lemah, dan hal ini sudah meracuni berbagai kalangan mulai dari tingkat paling dasar sampai dengan penentu kebijakan.

Bahkan parahnya lagi, adik saya yang paling muda (15 tahun) mengatakan dengan sepele untuk apa kita mematuhi peraturan toh kalau peraturan itu sendiri kerap dilanggar (sambil mengemudikan sepeda motor, melawan arus lalu lintas). Kalaulah kita semua saling sabar dan menghormati sesama dan menjunjung peraturan, kejadian-kejadian diatas tidak perlu terjadi, pemberitaan pemberitaan beraroma tidak sedap tidak akan muncul kepermukaan.  Perilaku Ukang tersebut ditunjukannya karena menilai bahwa yang bukan dia sendiri yang melakukan pelanggaran.

Kemanakah perginya Sarakopat?

Saya petik sedikit catatan dari kenigayo.wordpress.com yang ditulis oleh Subayu Loren : Pengimplementasian “Edet Pegerni Agama” dilaksanakan oleh struktur dan sistem kepemimpinan yang disebut dengan “Sarak opat”. Ke-empat unsur ini; Reje, Bedel, Petue dan Imem. Masing-masing unsur pemimpin ini memiliki sifat dan peran tersendiri.
Reje punya sifat adil, benar, suci yang keseluruhannya disebut musuket sifet. Bedel atau rayat merupakan pemegang kedaulatan, yang berbicara atas nama rakyat atau menyangkut dengan urusan orang ramai “publik” dan bisa menurunkan Reje dari statusnya. Petue punya sifat teliti, peka dan peduli, perannya sebagai penasehat Reje, keseluruhan sifatnya disebut sebagai musidik sasat. Imem berperan membimbing aspek yang berkenaan dengan Amar maruf nahi munkar, mengelola perilah yang terkait dengan aqidah dan kaidah Islam yang disebut muperlu sunet.
Kenyataannya konsepsi Sarakopat ini tidaklah lagi hidup dalam masyarakat Gayo. Pranata kepemimpinan ini sudah sering bergonta ganti misalnya dengan unsur pimpinan bernama Gecik dan Kepala Desa. Bedel atau rakyat telah kehilangan daya kontrolnya terhadap orientasi dan sikap pemimpin mereka yang sudah tidak berpihak kepada publik. Bilakah kebaikan yang telah dicipta oleh para Muyang Datu akan kembali? Maka kalau itu yang dibutuhkan adalah apakah kita masih memiliki kesadaran? Bila itu yang dibutuhkan, maka ananiyah atau keakuan yang melanda bukan hanya masyarakat Gayo, tapi juga muslim di seluruh dunia, perlu dienyahkan.
Seharusnya tahun 2009 dijadikan sebagai momentum karena tahun 2009, disepakati sebagai tahun kebangkitan ‘urang’ dan tanoh Gayo. Kesepakatan tersebut lahir dari kesadaran personal melihat realitas masa lalu, kekinian dan kerisauan masa depan ‘tanoh tembuni.’ (Yusradi Usman).  Berbagai persoalan yang menghantui negeri antara ini, menjadikannya semakin terpuruk kedalam jurang yang lebih dalam yang gelap dan pengap. Melihat kekritisan, seperti simbol budaya dan muatan keadatan, sosial, psikologis, sudah sepatutnya dilakukan langkah penyelamatan. ‘jati diri yang mulai rapuh’ harus segera dibenahi, yang membuktikan bahwa Urang Gayo masih memiliki budaya “kemel” bukan hanya sekedar retorika dan cerita turun temurun bahkan dewasa ini hanya sebatas simbol, dan pelengkap yang kaku. yang berimbas pada lembaga keadatan tidak lagi bermarwah, dan berwibawa. Begitu juga dengan tanggung jawab moral secara personal, lembaga keadatan, berjalan dengan baik dan terhindar dari keruntuhan.  

0 comments: