SELAMAT DATANG DI BLOG HADI SAFRIANDA

Sunday, March 13, 2011

Bahasa Aceh di Tengah Euforia Nasionalisme Keacehan

Posted by HADI SAFRIANDA On 1:20 PM No comments

Bahasa adalah salah satu tanda pengenal atau KTP sebuah entitas kumpulan manusia atau bangsa. Keberadaan bahasa, baik tutur sekaligus lisan juga menjadi identitas sebuah bangsa. Bahasa  bersifat mutlak dan tidak bisa ditawar-tawar. Jika kekhawatiran Nia Deliana (Serambi Indonesia, ‘Sumber Otentik Berbahasa Aceh’, 6 Februari 2011) bermula pada proses dekolonisasi dan kaitannya dengan sejarah sehingga BA hanya akan berada dalam baris komunikasi oral, maka kegelisahan Zulfadli (Serambi Indonesia, ‘Penguatan Bahasa Aceh’, 5 Juni 2010)  yang memulai diskursus ini juga sama, bahwa BA bisa jadi akhirnya berada dalam daftar komunikasi verbal lebih bermula kepada bagaimana memperkuat sisi struktur dan standarisasi. 

Demikian juga dengan tawaran yang diajukan oleh Denni Iskandar (Serambi Indonesia, ‘Menunda Punahnya Bahasa Aceh’, 12 Juni 2010)  yang mengajukan intensitas sikap berbahasa sebagai salah satu cara menunda punahnya BA. Juga dengan proposal Yusradi Usman Al Gayoni (Serambi Indonesia, ‘Memartabatkan Bahasa Aceh’, 3 Juli 2010) yang ingin memartabatkan BA melalui strategi ekspansi penggunaan bahasa dari sisi ekolinguistik dan juga mendorong kebijakan politik. Maka concern penulis kali ini lebih ingin mendorong agar BA menjadi bagian dari apa yang sering disebut oleh Michael Foucault, tokoh kritis Prancis (1926-1984) dengan “public discourse” atau wacana publik hingga berujung pada politik bahasa atau kebijakan bahasa.

Pascadamai, ada secercah harapan bahwa BA akan mendapatkan ruh baru. Apalagi kemudian kandidat independen yang berafiliasi ke eks-GAM dan Partai Aceh sebagai wujud transformasi perjuangan kombatan yang sangat kental nuansa nasionalisme keacehannya mendominasi pemerintahan di seluruh Aceh dari tingkat kabupaten/kota sampai gubernur. Namun, ternyata realita malah tidak memihak. BA bahkan tidak menjadi prioritas para politisi, karena memang barangkali menurut mereka bahasa, dalam hal ini BA, tidak mempunyai efek langsung terhadap proses politik. Padahal dasar hukum dalam UUPA sudah mengonfirmasi dengan tegas pentingnya BA (dan juga bahasa-bahasa daerah lain di Aceh) dalam masyarakat Aceh pascakonflik, meskipun  bunyinya hanya mencakup sampai pengajaran bahasa sebagai muatan lokal (mulok) di pendidikan sekolah. Padahal BA dulu sempat memainkan peranan internal penting bagi perkembangan bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia sendiri (Durie, 1996).

Berdamai bukan berarti melupakan identitas kebahasaan. Bahasa terkesan kecil, tapi ia sangat penting dalam proses interaksi sosial, termasuk politik. Pada kenyataannya, di tengah arus invasi budaya dan globalisasi, membuat BA tidak bergengsi di mata peserta didik. Apalagi pada prakteknya sekarang, jumlah jam pelajaran bahasa daerah di sekolah-sekolah di Aceh hanya dua jam (atau 2x45 menit) dan sifatnya juga pengayaan (remedial), tidak wajib dan tambahan, sehingga urgensi dan keseriusan menjaga BA agaknya diragukan. Berbeda dengan bahasa lainnya, yaitu Bahasa Indonesia, Inggris, Arab yang kemudian wajib dimasukkan ke dalam daftar mata pelajaran di Ujian Akhir Nasional (UAN) atau Ujian Akhir Semester (UAS). 

Dan tawaran Yusradi untuk membentuk fakultas, atau jika terlalu berat jurusan dululah, di kampus dan pendidikan tinggi yang membidangi bahasa, sastra dan sejarah BA bisa menjadi penyeimbang kesenjangan ini. Fakta sosial lain, khususnya di kota besar ada yang menyebutkan bahwa BA adalah bahasa tutur yang kesannya ‘kampungan’ dan tidak diperlukan. Inilah yang disebut orang Pidie sebagai ‘bleh’ alias ‘mbong’.  Di daerah lain yang sangat kental BA-nya, pendatang misalnya mahasiswa untuk KKN atau sensus berkunjung ke daerah malah tidak akan memperoleh sambutan atau informasi yang dibutuhkan jika mereka tidak mampu menggunakan BA. Di sisi lain, budaya masyarakat kita yang sering menertawakan terhadap pemula yang masih belum dapat mampu berbicara BA dengan fasih, sering mematikan semangat mereka untuk terus belajar. Untuk yang pengguna BA sekalipun kosa kata BA sudah sangat memprihatinkan. Banyak yang telah digantikan ke dalam bahasa Indonesia. 

Oleh karena itu, perlu usaha untuk menjadikan BA sebagai salah satu agenda (yang dianggap) penting oleh para pengambil kebijakan (politik). Sehingga ia bergulir menjadi isu dalam arus utama dan mengemuka menjadi bahan, topik, diskusi dan diskursus masyarakat secara umum. Upaya memasifkan BA sebagai wacana publik bisa kemudian sejalan dengan apa yang ditawarkan oleh Yusradi, yaitu mendorong, bernegosiasi dengan mereka di “atas’ agar mau dan berkomitmen menelurkan kebijakan politik bahasa bagi BA. 

Karena tetap saja jika pemerintah kita sekarang yang katakanlah nasionalisme keacehannya tinggi, tidak mau serius melindungi BA dari tekanan dunia global, maka patut dipertanyakan politik identitas keacehan mereka. Menunggu dari masyarakat adalah satu opsi, sebagaimana usul agar lagu, video, siaran berbahasa Aceh digalakkan. Namun tanpa kebijakan politik bahasa penguasa itu semua tidak akan punya dampak luas, kecuali kalau hanya diniatkan untuk eksistensi belaka. Padahal, bahasa dan kekuasaan tidak dapat dipisahkan (Fairclough, 1989), khususnya dalam menentukan satu standar resmi bahasa. 

Bermimpi menjadikan BA sebagai bahasa internasional mungkin fana. Reaktivasi peran Balai Bahasa Aceh dan Lembaga Bahasa Kampus yang selama ini lebih sibuk ke pengajaran bahasa asing juga penting. Mungkin dulu mereka menganggap bahwa BA sudah dikuasai dengan baik oleh masyarakat atau mungkin karena BA tidak profitable dalam bisnis bahasa. Nasionalisme keacehan hanya akan dirasa semu, jika BA tidak lama lagi hilang dari peredaran. Pun lagi, tokoh-tokoh yang fokus dalam BA sudah uzur dan sosok yang mengerti dan paham BA juga relatif minim. Hanya pak A. Gani Asyik dan Razali Cut Lani. 

Selain itu nyaris tidak ada, kecuali orang asing seperti Mark Durie, John Bowen atau mungkin Snouck Hurgronje. Ukuran nasionalisme keacehan hanya berkutat pada euforia politik. Kita pun tidak sadar bahwa koleksi buku-buku Aceh di KITLV Universitas Leiden Belanda (acehbooks.org) sebenarnya adalah pencurian intelektual penjajah atas nama hegemoni kolonialisme. Plus Cornell University Library yang menjadi Mekkah-nya para sarjana yang ingin belajar tentang Aceh dan BA. 

Sezalim-zalimnya Soeharto, ia pernah membuat kampanye penelitian bahasa dan sastra nusantara, termasuk di Aceh sejak 1976 sampai tahun 1990-an. Terlepas proyek tersebut sarat muatan politis dan merupakan strategi anti-separatisme dan penguatan dominasinya, itu cukup menjadi bukti objektif bahwa ia punya kebijakan politik bahasa. Ideologi, politik, dan bahasa sebagaimana yang dipercayai (Ricento, 2000: 1:9) dan anjuran Rasulullah SAW agar kita belajar bahasa adalah bagian dari nasionalisme keacehan. Euforia nasionalisme keacehan harus dibarengi dengan semangat menjaga dan menjadikan BA sebagai wacana publik. 

Karena harus diakui, sebagai bangsa minoritas, politik bahasa dan menjadikan BA sebagai wacana publik adalah keniscayaan jika tidak ingin salah satu unsur eksistensi keacehan akan hilang. Diakhir, semangat anak muda Aceh bernama M Nabil Beri dengan blognya www.belajarbahasaaceh.wordpress.com serta akun facebook bernama ‘Cintai Bahasa Aceh’ cukup menjadi pelecut bagi kita, dan khususnya ‘awak poe nanggroe’ untuk lebih berpihak ke BA sebagai bahasa nanggroe. 

Saiful Akmal* Penulis adalah Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry, Mahasiswa Bidang Bahasa, Politik dan Budaya di Johan Wolfgang Goethe University of Frankfurt, Jerman

0 comments: