SELAMAT DATANG DI BLOG HADI SAFRIANDA

Sunday, March 20, 2011

Akhirnya... Konsep RSBI Bakal Diubah!

Posted by HADI SAFRIANDA On 1:10 AM No comments

Share |
DEPOK, KOMPAS.com — Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mengakui, dia memahami kritik dan protes masyarakat mengenai rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI). Hal itu terutama mengenai kesan RSBI eksklusif hanya untuk "anak orang kaya", dengan dikuatkan biaya tinggi. Padahal, RSBI tetap sekolah publik yang harus mengalokasikan 20 persen untuk siswa dari keluarga kurang mampu.

Untuk itu, pemerintah akan merombak konsep dasar dan penyelenggaraan rintisan sekolah bertaraf internasional yang dinilai tak sesuai lagi dengan harapan dan ide awal. Institusi pendidikan salah menerjemahkan kualitas dengan label "internasional" dan menggunakan pendekatan kelas serta menafsirkan metodologi pengajaran dengan bahasa asing sebagai bahasa pengantar.
"Tidak penting namanya apa, internasional atau nasional. Masyarakat inginnya institusi pendidikan berkualitas. Jangan pakai nama internasional kalau jiwanya belum internasional," kata Nuh seusai pembukaan "Rembuk Nasional Pendidikan Tahun 2011" di Bojongsari, Depok, Jawa Barat, Rabu (16/3/2011).
Sementara itu, Wakil Mendiknas Fasli Jalal menyayangkan adanya sekolah yang tidak membatasi penarikan biaya pendidikan dari orangtua. Meski tak ada aturan khusus yang mengatur penarikan uang itu, Fasli mengingatkan, RSBI tetap mempunyai kewajiban menerima siswa kurang mampu.
"Tidak ada keharusan biaya mahal. Setiap RSBI berbeda-beda. Ada RSBI yang bebas biaya juga, tergantung tiap-tiap pemerintah daerahnya," ujarnya.
Pemerintah mengevaluasi 130 RSBI. Hasilnya akan menjadi dasar untuk menyusun peraturan menteri tentang RSBI. Peraturan menteri itu terbuka untuk diubah. (LUK)

Saturday, March 19, 2011

Teladan Jaksa Pendekar Hukum

Posted by HADI SAFRIANDA On 11:51 AM No comments

Share |

Dalam menegakkan hukum dan keadilan, Lopa, jaksa yang hampir tidak punya rasa takut, kecuali kepada Allah. Dia, teladan bagi orang-orang yang berani melawan arus kebobrokan serta pengaruh kapitalisme dan liberalisme dalam hukum. Sayang, suratan takdir memanggil Jaksa Agung ini tatkala rakyat membutuhkan keberaniannya. Tetapi dia telah meninggalkan warisan yang mulia untuk menegakkan keadilan. Dia mewariskan keberanian penegakan hukum tanpa pandang bulu bagi bangsanya.

Ketika menjabat Jaksa Tinggi Makassar, ia memburu seorang koruptor kakap, akibatnya ia masuk kotak, hanya menjadi penasihat menteri. Ia pernah memburu kasus mantan Presiden Soeharto dengan mendatangi teman-temannya di Kejaksaan Agung, di saat ia menjabat Sekretaris Jenderal Komnas HAM. Lopa menanyakan kemajuan proses perkara Pak Harto. Memang akhirnya kasus Pak Harto diajukan ke pengadilan, meskipun hakim gagal mengadilinya karena kendala kesehatan.
Lopa dan Bismar Siregar merupakan contoh yang langka dari figur yang berani melawan arus. Sayang Lopa sudah tiada dan Bismar sudah pensiun. Tetapi mereka telah meninggalkan warisan yang mulia kepada rekan-rekannya. Tentu untuk diteladani.
Baharudin Lopa meninggal dunia pada usia 66 tahun, di rumah sakit Al-Hamadi Riyadh, pukul 18.14 waktu setempat atau pukul 22.14 WIB 3 Juli 2001, di Arab Saudi, akibat gangguan pada jantungnya.
Lopa, mantan Dubes RI untuk Saudi, dirawat di ruang khusus rumah sakit swasta di Riyadh itu sejak tanggal 30 Juni. Menurut Atase Penerangan Kedubes Indonesia untuk Arab Saudi, Joko Santoso, Lopa terlalu lelah, karena sejak tiba di Riyadh tidak cukup istirahat.
Lopa tiba di Riyadh, 26 Juni untuk serah terima jabatan dengan Wakil Kepala Perwakilan RI Kemas Fachruddin SH, 27 Juni. Kemas menjabat Kuasa Usaha Sementara Kedubes RI untuk Saudi yang berkedudukan di Riyadh. Lopa sempat menyampaikan sambutan perpisahan.
Tanggal 28 Juni, Lopa dan istri serta sejumlah pejabat Kedubes melaksanakan ibadah umrah dari Riyadh ke Mekkah lewat jalan darat selama delapan jam.
Lopa dan rombongan melaksanakan ibadah umrah malam hari, setelah shalat Isya. Tanggal 29 Juni melaksanakan shalat subuh di Masjidil Haram. Malamnya, Lopa dan rombongan kembali ke Riyadh, juga jalan darat.
Ternyata ketahanan tubuh Lopa terganggu setelah melaksanakan kegiatan fisik tanpa henti tersebut. Tanggal 30 Juni pagi, Lopa mual-mual, siang harinya (pukul 13.00 waktu setempat) dilarikan ke RS Al-Hamadi.
Presiden KH Abdurahman Wahid, sebelum mengangkat Jaksa Agung definitif, menunjuk Soeparman sebagai pelaksana tugas-tugas Lopa ketika sedang menjalani perawatan. Penunjukan Soeparman didasarkan atas rekomendasi yang disampaikan Lopa kepada Presiden. Padahal Lopa sedang giat-giatnya mengusut berbagai kasus korupsi.
Sejak menjabat Jaksa Agung, Lopa memburu Sjamsul Nursalim yang sedang dirawat di Jepang dan Prajogo Pangestu yang dirawat di Singapura agar segera pulang ke Jakarta. Lopa juga memutuskan untuk mencekal Marimutu Sinivasan. Namun ketiga konglomerat ?hitam? tersebut mendapat penangguhan proses pemeriksaan langsung dari Wahid, alias Gus Dur.
Lopa juga menyidik keterlibatan Arifin Panigoro, Akbar Tandjung, dan Nurdin Halid dalam kasus korupsi. Gebrakan Lopa itu sempat dinilai bernuansa politik oleh berbagai kalangan, namun Lopa tidak mundur. Lopa bertekad melanjutkan penyidikan, kecuali ia tidak lagi menjabat Jaksa Agung.
Sejak menjabat Jaksa Agung, 6 Juni 2001, menggantikan Marzuki Darusman, Lopa bekerja keras untuk memberantas korupsi. Ia bersama staf ahlinya Dr Andi Hamzah dan Prof Dr Achmad Ali serta staf lainnya, bekerja hingga pukul 23.00 setiap hari.
Penghormatan terakhir
Jenazah Lopa disemayamkan di Kejaksaan Agung untuk menerima penghormatan terakhir. Soeparman yang mengenal Lopa sejak lama, menilai seniornya sebagai seorang yang konsisten dalam penegakan hukum, sangat antikorupsi, sederhana, dan selalu berusaha agar orang-orang yang berada di sekitarnya bersih.
Meski menjabat Jaksa Agung hanya 1,5 bulan, Lopa berhasil menggerakkan Kejaksaan Agung untuk menuntaskan perkara-perkara korupsi. Karena itu jajaran kejaksaan merasa sangat kehilangan.
Ajudan Lopa, Enang Supriyadi Samsi kaget ketika mendengar kabar kepergian Lopa, karena ia tahu Lopa jarang sakit, apalagi sakit jantung. Kalaupun dirawat di rumah sakit lantaran kelelahan, soalnya ia pekerja keras.
Kalimat kunci dari Lopa yang tidak pernah dilupakan Enang, ?kendatipun kapal akan karam, tegakkan hukum dan keadilan.?
Soeparman dipanggil Presiden Gus Dur ke Istana Negara, Senin, menunjuknya sebagai pelaksana tugas Jaksa Agung. Tidak ada arahan khusus dari Presiden. ?Laksanakan tugas, lanjutkan apa yang sudah dan akan dilakukan Pak Lopa?. Hanya itu pesan Gus Dur. Soeparman adalah Doktor Ilmu Hukum Pidana Perpajakan, UI.
Saat itu Lopa masih dirawat, belum meninggal dunia. Dengan demikian Keppres penunjukan Soeparman mengundang tanda tanya publik. Memang Wakil Jaksa Agung otomatis mengambil alih tugas-tugas atasannya bilamana yang bersangkutan berhalangan.
Keppres serupa pernah dikeluarkan Pak Harto ketika mengangkat Singgih sebagai pelaksana tugas-tugas Jaksa Agung Sukarton yang meninggal dunia.
Warisan LopaKepergian Lopa sangat mengejutkan, meninggal ketika ia menjadi tumpuan harapan rakyat yang menuntut dan mendambakan keadilan. Sejak menjabat Jaksa Agung (hanya 1,5 bulan), Lopa mencatat deretan panjang konglomerat dan pejabat yang diduga
terlibat KKN, untuk diseret ke pengadilan.
Ketika menjabat Menteri Kehakiman dan HAM, ia menjebloskan raja hutan Bob Hasan ke Nusakambangan. Ktegasan dan keberaniannya jadi momok bagi para koruptor kakap.
Menurut Andi Hamzah, sebelum bertolak ke Arab Saudi, Lopa masih meninggalkan beberapa tugas berat. Kepergian Lopa untuk selamanya, memang membawa dampak serius bagi kelanjutan penanganan kasus-kasus korupsi.
Banyak perkara yang sedang digarap tidak jelas lagi ujung pangkalnya. Banyak masih dalam tahap pengumpulan bukti, sudah ada yang selesai surat dakwaan atau sudah siap dikirim ke pengadilan. Banyak perkara yang tertahan di lapis kedua dan ketiga.
Akbar sendiri, meski termasuk tokoh politik yang diburu Lopa, mendukung langkah penegakan hukum yang diprakarsai Lopa. ?Kita merasa kehilangan atasas kepergian Lopa.?
Pengacara yang membela banyak kasus korupsi, Mohammad Assegaf, menyayangkan Lopa melangkah pada waktu yang salah.
He?s the right man in the wrong time. Karena itu ia kehilangan peluang untuk melakukan pembenahan.
Pengamat hukum JE Sahetapy menginginkan kelanjutan pengungkapan kasus-kasus korupsi, meski Lopa sudah tiada. Kata Sahetapy, the show must go on.
Lopa sendiri sudah punya firasat, tugasnya selaku Jaksa Agung takkan lama. Banyak orang mengaitkannya dengan masa jabatan Gus Dur yang singkat. Tetapi masa bhakti Lopa jauh lebih singkat.
Ia sudah merasa bahwa langkah yang dimulainya akan memberatkan penerusnya.
Anak DusunBarlop, demikian pendekar hukum itu biasa dipanggil, lahir di rumah panggung berukuran kurang lebih 9 x 11 meter, di Dusun Pambusuang, Sulawesi Selatan, 27 Agustus 1935. Rumah itu sampai sekarang masih kelihatan sederhana untuk ukuran keluarga seorang mantan Menteri Kehakiman dan HAM dan Jaksa Agung. Ibunda pria perokok berat ini bernama Samarinah. Di rumah yang sama juga lahir seorang bekas menteri, Basri Hasanuddin. Lopa dan Basri punya hubungan darah sepupu satu.
Keluarga dekatnya, H. Islam Andada, menggambarkan Lopa sebagai pendekar yang berani menanggung risiko, sekali melangkah pantang mundur. Ia akan mewujudkan apa yang sudah diucapkannya. Memang ada kecemasan dari pihak keluarga atas keselamatan jiwa Lopa begitu ia duduk di kursi Jaksa Agung. Ia patuh pada hukum, bukan pada politik.
Lopa menerima anugerah Government Watch Award (Gowa Award) atas pengabdiannya memberantas korupsi di Indonesia selama hidupnya. Simboliasi penganugeragan penghargaan itu ditandai dengan Deklarasi Hari Anti Korupsi yang diambil dari hari lahir Lopa pada 27 Agustus.
Lopa terpilih sebagai tokoh anti korupsi karena telah bekerja dan berjuang untuk melawan ketidakadilan dengan memberantas korupsi di Indonesia tanpa putus asa selama lebih dari 20 tahun. Almarhum Lopa, katanya, adalah sosok abdi negara, pegawai negeri yang bersih, jujur, bekerja tanpa pamrih, dan tidak korup.
Menurut Ketua Gowa Farid Faqih, korupsi di Indonesia telah menyebabkan kebodohan dan kemiskinan bagi seluruh rakyat, tidak mungkin diatasi jika pihaknya, lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, militer, dan pimpinan parpol tetap melakukan korupsi. Karena itu perlu dimulai hidup baru melalui gerakan moral dan kebudayaan untuk memberantas korupsi.
Istri Lopa, Indrawulan, telah memberi contoh kesederhanaan istri seorang pejabat. Watak keras dan tegas suaminya tidak dibuat-buat. Karena itu, ia berusaha sedapat mengikuti irama kehidupan suaminya, mendukungnya dan mendoakan bagi ketegaran Lopa.
Lopa telah tiada. Memang rakyat meratapi kepergiannya. Tetapi kepergian Lopa merupakan blessing in disguise bagi para koruptor dan penguasa yang enggan menindak kejahatan korupsi.
***
Dalam usia 25, Baharuddin Lopa, sudah menjadi bupati di Majene, Sulawesi Selatan. Ia, ketika itu, gigih menentang Andi Selle, Komandan Batalyon 710 yang terkenal kaya karena melakukan penyelundupan.
Lopa pernah menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi di Sulawesi Tenggara, Aceh, Kalimantan Barat, dan mengepalai Pusdiklat Kejaksaan Agung di Jakarta. Sejak 1982, Lopa menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan. Pada tahun yang sama, ayah tujuh anak itu meraih gelar doktor hukum laut dari Universitas Diponegoro, Semarang, dengan disertasi Hukum Laut, Pelayaran dan Perniagaan yang Digali dari Bumi Indonesia.
Begitu diangkat sebagai Kajati Sulawesi Selatan, Lopa membuat pengumuman di surat kabar: ia meminta masyarakat atau siapa pun, tidak memberi sogokan kepada anak buahnya. Segera pula ia menggebrak korupsi di bidang reboisasi, yang nilainya Rp 7 milyar.
Keberhasilannya itu membuat pola yang diterapkannya dijadikan model operasi para jaksa di seluruh Indonesia.Dengan keberaniannya, Lopa kemudian menyeret seorang pengusaha besar, Tony Gozal alias Go Tiong Kien ke pengadilan dengan tuduhan memanipulasi dana reboisasi Rp 2 milyar. Padahal, sebelumnya, Tony dikenal sebagai orang yang ''kebal hukum'' karena hubungannya yang erat dengan petinggi. Bagi Lopa tak seorang pun yang kebal hukum.
Lopa menjadi heran ketika Majelis Hakim yang diketuai J. Serang, Ketua Pengadilan Negeri Ujungpandang, membebaskan Tony dari segala tuntutan. Tetapi diam-diam guru besar Fakultas Hukum Unhas itu mengusut latar belakang vonis bebas Tony. Hasilnya, ia menemukan petunjuk bahwa vonis itu lahir berkat dana yang mengalir dari sebuah perusahaan Tony.
Sebelum persoalan itu tuntas, Januari 1986, Lopa dimtasi menjadi Staf Ahli Menteri Kehakiman Bidang Perundang-undangan di Jakarta. J. Serang juga dimutasi ke Pengadilan Tinggi Sulawesi Selatan. tsl-sh, dari berbagai sumber
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

Wednesday, March 16, 2011

Pacuan Kuda di Negeri Antara

Posted by HADI SAFRIANDA On 8:49 PM No comments

Share |



Pada awalnya, pacu kuda hanya aktivitas iseng pemuda-pemuda kampung, seusai musim panen padi di sekitar Danau Laut Tawar. Sudah menjadi kebiasaan anak muda, menangkap kuda yang kerkeliaran dengan kain sarung tanpa setahu empunya dan memacunya. Saat memacu, kadangkala terserempak dengan kelompok pemuda dari kampung lain, yang melakukan hal yang sama. Lalu terjadi interaksi sosial, dimana para joki dari masing-masing kampung sepakat untuk mengadakan pertandingan pacu kuda antara kampung tanpa hadiah bagi pemenang. Tidak disadari, akhirnya sejak awal tahun 1930-an, aktivitas ini berubah menjadi tradisi tahunan yang melibatkan beberapa kampung.

Pada masa itu, penyelenggaraannya masih sangat sederhana. Panitia dibentuk bersama-sama dan memilih lapangan ”Musara Alun” sebagai satu-satunya gelanggang arena pertarungan; sampai kemudian, pada tahun 1956-an (bersamaan dengan lahirnya UU.No.7 Drt/1956 dan UU. No. 24/1956 terbentuknya Kabupaten Aceh Tengah), pelaksanaan pacuan kuda ini diambil alih oleh Pemda Aceh Tengah. Pada priode tahun 1950-an, kuda pacu asal kampung Kenawat, Gelelungi, Pegasing, Kebayakan dan Bintang, boleh dikatakan paling aktif dalam perlombaan ini.

”Rule of the game”
Pacu kuda ini tidak ada aturan main yang pasti-pasti tentang atribut: baju, celana, sepatu, topi, pemecut (cambuk), usia seorang joki dan alat pengaman tubuh, pagar dan tali yang benar-benar memenuhi standard keamanan. Jadi, jika joki jatuh, luka-luka, bahkan mati sekalipun, cukup dengan menghubungi pihak Rumah sakit. Para joki berkaki telanjang dan berpakaian bebas. Ada joki yang memakai jacket hujan saat berpacu tanpa memperhitungkan factor keselamatan dan arus angin yang mempengaruhi kecepatan. Mereka tidak dibekali pengetahuan tentang ”rule of the game”. Pihak Pemda belum berpikir menyediakan perangkat computer perekam pada garis start, mensyaratkan pakaian yang memenuhi standard keselamatan dan tidak berupaya mengasuransikan para joki, sekiranya mereka mendapat musibah kecelakaan.

Tiga orang juri duduk di atas sebuah menara bertingkat yang jaraknya kira-kira 100-200 m dari garis start; sementara seorang juri pembantu berdiri di atas garis start. Kuda-kuda yang akan dipacu dikendalikan oleh joki dan pemiliknya. Juri pembantu mula-mula memberi aba-aba dengan mengangkat ”bendera start” warna putih sebagai isyarat pertarungan segera berlangsung. Curi start bisa disaksikan disini, saat para joki merapatkan kuda mereka ke garis ”start”. Jika kuda tersebut sulit diajak kompromi (berdiri persis di garis start), maka sang joki yang kekangnya dipandu oleh pemilik, dibenarkan mengambil ancang-ancang jauh dari belakang. Apa yang terjadi? Setiap start perlombaan yang disertai oleh 4 atau 5 peserta, posisi kuda hampir tidak pernah persis berdiri di atas garis start. Juri pembantu hanya memberi peluang beberapa saat agar masing-masing menyiapkan diri; jika tidak, bendera start tetap dikibarkan. Tidak dikenal rumus ”ralat”, ”silap”, ”ma’af”, ”ampun” dan ”menggugat” jika terjadi ketidaksamaan gerak start. Pemegang bendera start adalah raja yang tak tidak pernah melakukan kesalahan dan tidak boleh digangu gugat.
Inilah yang membedakan antara paduan kuda tradisional di ”Negeri Antara” dengan pacuan kuda di Inggeris dan Spanyol. [Saya pernah saksikan siaran langsung pacuan kuda tradisional di Spanyol lewat layar TV, yang melebihi 28 menit belum juga berhasil dimulai, karena masing-masing kuda sukar diajak kompromi untuk berdiri persis di atas garis start.]

”Taruh (judi)”
Sebelum kuda dipacu, “harie” (”juru penerangan”) lebih dahulu menceritakan sejarah ringkas dari masing-masing kuda, pemilik dan prestasi lewat pengeras suara dari atas balkon yang sesak dengan toké-toké dan petaruh ”kelas kakap” untuk memilih jagoan masing-masing. Kuda tadi dipromosikan di lapangan balkon yang luasnya kira-kira 30x40 m2. Nilai taruhan disiarkan secara langsung. Selain pataruh resmi tadi, penonton dari segenap lapisan masyarakatpun juga ikut bertaruh. Transaksi berlangsung singkat dan tunai. Ini ”pèng kilat”! Tradisi pacu kuda ini, menghalalkan atau melegitimasi taruh (judi) secara resmi dan terbuka. Dengan kata lain: arena pacuan kuda adalah zona bebas judi.

”Unsur magic”
Suatu hal yang tidak bisa dinafikan ialah: tradisi pacu kuda ini identik dengan permainan ilmu magic, yang menghadirkan dukun-dukun kesohor. Lazimnya, mereka berdiri berdekatan dengan garis start. Sang dukun mampu membelokkan arah kuda lawan (musuh) saat melewati tikungan tertentu atau tersungkur. Di era tahun 50-an, dikenal dua dukun terkenal, yaitu: Aman Lumah (yang biasa dialog dan merokok bersama dengan jin) dan Guru Gayo, asal kampung Kenawat. Keduanya hampir setiap tahun mampu memenangkan ”Kude Kenawat” berkulit warna pink campur garis hitam, milik Aman Saleh Bur. Piala-piala yang diraih turut musnah bersama piala juara Didong group Seriwijaya, ketika kampung Kenawat dibakar hangus akhir tahun 1959 oleh pasukan Diponegoro, saat pergolakan Darul Islam (D.I Aceh) bergolak. Caranya: memandikan dan menepung tawari kuda ini terlebih dahulu sebelum dilagakan. Di era tahun 1960-an, ”Kude Bènyang”, ”Kude Gerbak” dan ”Kude Bupati Isa Amin” adalah diantara kuda yang populer. Arena pacuan kuda merupakan gelanggang pertarungan antara dukun-dukun untuk menguji kejituan ilmu magic. Bahkan sering didapati sesajèn di lokasi tertentu yang bisa menyungkurkan kuda musuh. Tidak ada pacuan kuda tanpa kekuatan magic.

”Gerak Tawaf”
Lokasi pacuan kuda ”Musara Alun” bagaikan ”ka’bah”, dimana kaula muda melakukan tawaf di luar lini pacuan, dibatasi oleh tiang pagar yang diikat seadanya. Tiang-tiang itu bukan dikuatkan oleh tali pengikat, melainkan oleh telapak kaki ”’adiyati dhabha” (”kuda pacu yang berlari kencang”) yang ”fa’astarna bihi naq’a” (”yang menerbangkan debu”) dan dibentengi secara massal oleh peserta tawaf yang mengelilingi arena pacuan. Konsep ”tawaf” ini, tidak sama dengan konsep tawaf yang sesungguhnya di Mekah Al- mukarramah. Para pemuda dan gadis-gadis desa bershaff-shaff melakukan tawaf dengan gerak searah dan berlawanan arah (bersilang) mengelilingi lapangan ”Musara Alun” sepanjang pacuan kuda berlangsung. Jama’ah tawaf ini bebas, darimana memulai dan mengakhiri. Tawaf ini bukan refleksi dari keimanan, akan tetapi gerak jiwa untuk mengubur segala bentuk kegelisahan dan kebosanan; ianya juga gerak untuk menemukan butir-butir cinta kasih yang bertabur dan terhampar di padang terbuka. Romantisme akan larut dalam gerak tawaf atau pencarian yang sesungguhnya; sebab disini wajah-wajah gadis manis bersembunyi di sebalik kerudung dan payung warna merah, melintas dan disergap dengan lirikan kumbang-kumbang girang. Dalam tawaf ini terjadi pandangan dan sentuhan massal yang menawar muka dengan penuh harap dan bersaing secara fair. Surat cinta yang adressnya tak jelas, siap dilayangkan ke tangan gadis-gadis yang ikut bertawaf itu.
”Musara Alun”, bukan saja arena pertarungan kuda untuk meraih gelar juara dan piala, tetapi juga berpacu dalam irama cinta yang tumbuh, mekar seketika dan bergelora. Gadis-gadis tidak mau diwakal, termasuk muhrim sekalipun. Mereka bebas dalam batas-batas kewajaran, sebebas kuda berpacu. ”Musara Alun” adalah zona bebas mukrim. Buah yang bisa dipetik dari ”tawaf” ini biasanya berujung kepada jenjang perkawinan.
Kisah ini mungkin dirasakan asing atau bahan tertawaan. Tetapi inilah sebenarnya historiography pacu kuda di ”Negeri Antara”, yang kini sebagian episodenya (gerak tawaf) hampir tidak dijumpai lagi, setelah kebelakangan ini lokasi pacuan kuda dipindahkan dari ”Musara Alun” ke ”Belang Bebangka” dan ke satu lokasi di Kab. Bener Meriah. Pacuan kuda sekarang, lebih mengedepankan pertimbangan ekonomis ketimbang historis, yang tidak lagi diselenggarakan setahun sekali pada momen yang berkesan, tapi diadakan seenak jidatnya; tidak mengkodifikasi nama-nama kuda yang berprestasi sebagai khazanah sejarah budaya Gayo yang unik.

(Catatan Yusra Habib Abdul Gani)

Monday, March 14, 2011

Islamikah Budaya Gayo?

Posted by HADI SAFRIANDA On 1:22 PM No comments

Share |


Yusra Habib Abdul Gani*
Sejak pemerintahan Genali (Raja Linge 1) yang berpusat di Buntul Linge, Islam sudah bertapak di tanah Gayo. Acara penyumpahan oleh qadhi malikul ’Adil kepada semua aparat kerajaan di lingkungan kerajaan Linge dilaksanakan mengikut tatacara Islam, budaya menuntut ilmu –menyekolahkan Johansyah (anak sulung raja Linge) ke Dayah Cot Kala, Peureulak dibawah asuhan Sjèh Abdullah Kan’an– dan upacara pengkhitanan menurut syariah Islam sudah diamalkan pada ketika itu. Semenjak itu pula istilah ”Sunet Rasul” yang berarti ”khitanan” sudah dikenal, sehingga dalam masyarakat gayo dianggap lumrah jika orang bertanya: ”Nge ke sunet rasul ko Win” (”Sudahkah kamu dikhitan”). Bahkan kerajaan Linge pada ketika itu sudah memiliki bendera (bahasa Gayo: Elem) yang ditengah-tengahnya bertulis ’Dua Kalimah Syahadah’ dan di masing-masing sudut terdapat nama empat sahabat Rasulullah. Ini diantara fakta yang membuktikan bahwa peradaban Islam ketika itu sudah wujud. Bahkan, atas dasar pertimbangan kemanusiaan dan ikatan persaudaran Islam; Raja Linge mengizinkan rombongan Malik Ishak (pelarian politik asal Peureulak lebih kurang 300 jiwa) untuk tinggal dan sekaligus diberi hak untuk mendirikan kerajaan Islam di Isaq, yang kemudian bernama Kerajaan Malik Ishaq, berdiri puluhan tahun sebelum Kerajaan Pasè di bawah pimpinan Malikus Salèh yang berasal dari keturunan Datok Mersa dari tanah Gayo. Malik Ishaq diperintahkan abangnya (Raja Peureulak) untuk menyingkir ke daerah pedalaman, dengan maksud mempersiapkan bahan logistik untuk menghadapi serangan serdadu Sriwijaya ke atas Kerajaan Peureulak. 
Islam mengajarkan bahwa salah satu kebajikan adalah menyantuni musafir yang memerlukan pertolongan (Surah Al-Baqarah, ayat 177). Rasa pri-kemanusiaan dan solidaritas inilah dituangkan dalam falsafah gayo: ’setie maté, gemasih papa, ratip sara nanguk, nyawa sara peluk’ (’Setia sampai mati, kasih hingga papa, ratip satu angguk, nyawa satu peluk’) dan kesetiaan orang Gayo terlukis dari pepatah ini: ’Patal terlis tauhi uren, aku gere rejen bertudung tetemi, bier murensé tubuh ôrôm beden, aku gere rejen berubah janyi’ (’Pematang sawah diguyur hujan, aku tak rela bertudung kayu jerami, walau hancur tubuh-badan, aku takkan mau berubah janji’) Dalam pergeseran nilai-nilai sosial, ini mesti diuji kembali.
Pengaruh Islam dalam budaya gayo terjadi melalu proses peng-gayo-an beberapa kata Arab. Misalnya saja kata: ’Waaassaluuualéééééééé’! Dalam masyarakat gayo, ucapan ini dikomandangkan secara serentak dengan suara mayor oleh sekumpulan orang ketika hendak meletakkan tiang utama Masjid, Mushalla, jembatan kayu, tiang rumah atau ketika menarik bakal perahu dari hutan ke tepi Danau Laut Tawar. Tanpa disadari, ucapan ini sebenarnya berasal dari kata: ’Wassalamu’alaik’ yang berarti selamat sejahtera. Demikian pula ucapan “Assalamu’alaikum”, ternyata berasal dari bahasa Arab. Umat muslim dianjurkan: “Ucapkan: ‘salamu’alaikum’” sebagaimana dinyatakan dalam Surah Al-An’am, ayat 54.
Selain itu, didapati prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam yang ditransformasi dari bahasa al-Qur’an kedalam bahasa Gayo dalam bentuk pepatah dan sastera. Hal ini ada kaitannya dengan strategi dakwah yang dilancarkan oleh para Ulama sewaktu menyebarkan ajaran agama Islam di tanah Gayo. Maksudnya, agar orang Gayo tidak shock dan terkejut menerima nilai-nilai dan ajaran agama Islam yang datang dari luar, sehingga para pendakwah terpaksa mencari formula atau melakukan pendekatan kultural untuk memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam jantung hati orang gayo.
Untuk melihat dari dekat, dapat dibuktikan dari munculnya istilah ’Sumang’, yang dalam takaran adat-istiadat dan pandangan umum menunjuk kepada pengertian bahwa: suatu prilaku dinilai kurang sopan dan kurang beradab bila dilakukan di depan umum maupun di tempat sunyi sekalipun. ’Sumang’ adalah standard moral yang menekankan supaya orang tidak melakukan perbuatan semena-mena –yang melanggar ajaran agama, etika sosial dan moral– dalam masyarakat. Misalnya: sepasang muda-mudi yang bukan muhrim bergandéng tangan atau berciuman di depan khalayak ramai. Ini dinilai suatu penyimpangan terhadap nilai-nilai Islam. Ini berkaitan dengan aba-aba yang berbunyi: ”Kendalikan pandanganmu, pelihara kemaluan (aurat) mu dan pandanganmu jangan culas (berkhianat)” (Q: An-Nur, ayat 30 dan Q: Al-Mukmin, ayat 19). Aba-aba ini di-adat gayo-kan dengan sebutan: ’Sumang penèngonen’. Intinya ialah: jangan sampai pandangan membayangkan hal-hal negatif. Itu sebabnya gadis remaja Gayo zaman dulu selalu menutup aurat ketika hendak keluar rumah, menghindari dari perkara-perkara yang bisa merangsang nafsu birahi kaum lelaki. Ini sejiwa dengan anjuran Allah: ”… janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak darinya…” (Surah An-Nur, ayat 31) dan ”orang-orang yang menjaga kemaluannya” (Surah Al-Mukminun, ayat 5), yang diklasifikasikan Al-Qur’an sebagai orang yang menang.
Akan halnya dengan sikap angkuh dan sombong, menampilkan diri dengan pakaian dan perhiasan yang berlebihan. Inilah yang dinamakan ’Sumang perupuhen’ (pakaian). Dari itu, ’Sumang’ juga simbol hukum yang di dalamnya mengandung unsur ’preventif’ terhadap tindakan yang dinilai bisa merusakkan nilai-nilai Islam. Dalam konteks ini, ’Sumang’ adalah kata lain dari perintah Allah: ”Janganlah mendekati zina.”
Seterusnya, prilaku yang memperlihatkan dirinya sebagai orang paling cantik dan gagah yang berlebihan dan merendahkan pribadi orang lain. Hal seperti ini dilarang, sebab al-Qur’an menyatakan: ”Jangan kamu memalingkan muka karena sombong dan jangan berjalan di muka bumi dengan angkuh…” (Surah Luqman, ayat 18). Anjuran ini ditransformasi ke dalam adat gayo menjadi sebutan ’Sumang pelangkahen’. Demikian pula dengan prilaku melècèhkan pendapat orang lain, menganggap dirinya-lah yang paling benar dan hebat. Ajaran Islam menekankan supaya orang hidup di atas dunia tidak congkak. Allah mengingatkan: ”… Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri” (Surah Luqman, ayat 18), yang dalam masyarakat Gayo disebut ’Sumang peceraken’.
Demikian juga, Islam mengajarkan supaya orang berkata sopan, tidak menyakiti perasaan orang lain, menyejukkan hati orang yang mendengarnya. Allah berfirman: ”Jangan teriak. Berbicaralah sopan dengan melembutkan suaramu” (Surah Lukman, ayat 19). Prinsip-prinsip moral ini untuk selanjutnya dijabarkan secara puitis dalam Didong Musara Bintang dengan judul: ”Mongot” (”Menangis”) yang sekerat liriknya berbunyi: ’Manis berperi gelah lagu madu, sejuk natému lagu bengi ni nami. Berperi berabun, bertungket langkahmu, kusihpé beluhmu berbudi pekerti.’ (’Bertutur manis bagai madu, hatimu sejuk bagai embun pagi. Sopan bicara dan pakai kompas saat melangkah dan berbudi perkerti kemanapun pergi’.)
Nilai-nilai kejujuran dan keikhlasan juga dijunjung tinggi dalam ajaran Islam, seperti: ’Katakan dengan mulutmu, seperti yang terlukis di hatimu.’ (Ali ‘Imran, ayat 167) dan ’Bersikap rendah hati dan ucapkan keselamatan kepada siapa yang menegurmu’ (a-Furqan, ayat 63). Ini sejalan dengan sastera Gayo yang mengungkapkan: ’ Tingkah serakah seriet bersebu, aku becerak ari putih naténgku.’ (’Saya berkata dari relung hati yang putih’) Akan halnya dengan rasa kesetia-kawanan dan persaudaraan antara sesama manusia merupakan sisi yang tidak kurang pentingnya. Dalam konteks ini dinyatakan: ”… Dan berpeganglah kamu semua kepada tali Allah dan janganlah kamu bercerai-berai…” (Surah Ali-Imran, ayat 103). Prinsip sosial kemasyarakatan ini, dituangkan oleh pakar adat ke dalam bentuk pepatah Gayo yang berbunyi: ’Rempak lagu ré, mususun lagu belo. Beluh sara loloten, mèwèn sara tamunen ’ (’sejajar seperti sisir, bersusun bagai daun sirih, pergi satu arah haluan, tinggal satu kumpulan’).
Untuk membangun suatu masyarakat madani, maka ikatan kebersamaan tadi akan semakin kokoh, sekiranya individu-individu menghormati etika, ketentuan hukum dan prinsip-prinsip keadilan dalam masyarakat Islam, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an: ”Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa” (Surah Al-Maidah, ayat 8). Seterusnya: ”… Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri, ibu bapak dan kaum kerabatmu…” (Surah An-Nisa’, ayat 135). Hal ini disenyawakan ke dalam pepatah dan falsafah Gayo tentang keadilan: ’Edet enti pipet atur enti bele, pantiken genuku.’ (’Adat tidak boleh kaku (rigit), aturan tidak boleh pilih kasih, tegakkan keadilan’).
Akhirnya, pembuktian di atas didasarkan pada kajian ilmiah dengan menyertakan refersensi utama –alQur’an, falsafah, pepatah dan seni sastera gayo– dan berusaha me-minimal-kan interpretasi, apalagi unsur-unsur yang dianggap tidak valid dan tidak relevan. Memandangkan keabsahan fakta mengenai hubungan dan pengaruh nilai-nilai Islam dalam peradaban orang gayo yang universal ini, diharapkan orang gayo terangsang rasa ke-gayoan-nya kembali dalam makna yang positif dan bergairah merekonstruksi ke dalam kehidupan sosial masyarakat, berbangsa dan bernegara, terutama oleh penyelenggara negara. Ini memerlukan komitmen untuk menerapkan nilai-nilai qur’ani yang mengacu kepada format hukum dan nilai-nilai kemanusiaan universal yang bersumber dari al-Qur’an dan men-senyawa-kan dengan budaya kita. Tangan kita masih kotor, mengotori nilai-nilai Islam dan budaya. Oleh sebab itu ”…jangan kamu mengatakan dirimu suci…” (Surah- An-Najm, ayat 32). Wallahu’aklam bissawab!

*Director Institute for ethnics Civilization research, Denmark

Sunday, March 13, 2011

Kontrol Biaya di RSBI, Sekolah Harus Buat Renstra

Posted by HADI SAFRIANDA On 10:49 PM No comments

Share |



Solo, Kompas - Sekolah-sekolah terutama yang berstatus rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) harus membuat rencana strategis (renstra) atau rencana pengembangan sekolah agar akuntabilitas keuangannya lebih jelas. Sekolah RSBI sejauh ini dinilai menetapkan biaya pendidikan yang terlalu tinggi untuk kelas-kelas internasionalnya sehingga sulit diakses siswa pintar namun tidak mampu.
"Sekolah harus membuat renstra mau membangun apa saja dalam waktu 10-15 tahun ke depan. Jangan setiap tahun membangun parkir sepeda dan ini dibebankan kepada siswa," kata Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) Kota Solo Rakhmat Sutomo, Senin (31/5).
Dengan demikian, biaya pendidikan akan dapat dikontrol sehingga tidak ada penilaian besar biaya yang terlalu tinggi dan tidak dapat terjangkau oleh siswa, terutama dari kalangan tidak mampu.
Dalam waktu dekat keberadaan sekolah RSBI akan dievaluasi oleh tim dari pusat. Jika tidak memenuhi syarat, kemungkinan besar statusnya dikembalikan menjadi sekolah biasa. Jika memenuhi syarat, akan ditingkatkan statusnya.
Selama ini, menurut Rakhmat, kendala sekolah RSBI adalah memenuhi ketentuan kerja sama dengan sekolah di negara asing yang berada di lingkungan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Selain itu, kapasitas guru yang harus memiliki skor TOEFL (Test of English as a Foreign Language) di atas 450 dan komposisi guru sebanyak 30 persen harus berasal dari lulusan pascasarjana (S2).
Kepala SMA Negeri 3 Ngadiyo mengatakan, biaya pendidikan kelas internasional di RSBI sesuai dengan kebutuhan. Misal, kelas internasional harus berpendingin karena menggunakan peralatan teknologi informasi.
"Di tempat kami ada 10 persen siswa kurang mampu yang membayar di bawah seharusnya karena mendapat subsidi silang," kata Ngadiyo. (eki)

Masih Banyak Guru yang Bergaji Rp 15.000

Posted by HADI SAFRIANDA On 10:13 PM No comments

MEDAN, KOMPAS.com — Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) pada Pasal 14 Ayat 1 huruf a disebutkan, dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya, guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum. Namun, sampai saat ini, standar kebutuhan hidup minimum seorang guru belum juga diatur sebagaimana mestinya.



Bahkan, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, tidak ada satu pasal pun yang mengatur standar penghasilan guru. Padahal, menurut ketentuan penutup UUGD disebutkan, semua peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk melaksanakan UUGD harus diselesaikan selambat-lambatnya 18 bulan sejak UUGD diberlakukan.
Bagi guru PNS tidak menjadi persoalan karena penghasilannya sudah diatur sama dengan PNS lainnya. Akan tetapi, bagi guru non-PNS, hal itu menjadi salah satu persoalan yang sangat penting dalam upaya memperoleh jaminan penghasilan.
Di Kota Medan, berdasarkan hasil riset Serikat Guru Indonesia Kota Medan, ternyata masih ditemui guru yang bekerja dengan penghasilan Rp 15.000 per jam tatap muka. Maka, jika melihat kembali isi dalam UUGD, beban kerja guru sekurang-kurangnya adalah 24 jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 jam tatap muka. Artinya, kalaupun jam mengajarnya sampai dengan 40 jam, penghasilannya sebulan hanya mencapai Rp 600.000.

"Namun, tentu saja, untuk mencapai jam maksimal ini (40 jam), adalah hal yang mustahil bagi seorang guru yang profesional karena tugas guru bukan hanya mengajar tatap muka di depan kelas," Fahriza Marta Tanjung, Sekretaris Serikat Guru Indonesia Kota Medan, saat dihubungi Kompas.com di Medan, Selasa (8/3/2011).
Fahriza mengatakan, angka tersebut sangat tidak sebanding, misalnya, dengan UMK Kota Medan tahun 2010 yang sudah mencapai Rp 1.020.000.
"Bagaimana pula dengan guru yang memperoleh penghasilan sebesar Rp 10.000 per jam tatap mukanya? Itu masih ada di Kota Medan," ujarnya.
Jelas terlihat, kata Fahriza, bahwa penghasilan guru masih lebih rendah dari upah buruh sekalipun. Bahkan, seorang guru, dalam hitungannya, digaji seminggu untuk kerja sebulan.

10 Alasan Utama Sekolah Bertaraf Internasional Harus Dihentikan

Posted by HADI SAFRIANDA On 10:06 PM No comments



JAKARTA, KOMPAS.com - Ada sepuluh kelemahan utama yang menjadi alasan kuat bagi Kementrian Pendidikan Nasional untuk segera menghentikan program sekolah bertaraf Internasional (SBI). Mulai dari salah konsep hingga merusak bahasa dan mutu pendidikan, program SBI dianggap tidak cocok dan harus segera ditinggalkan.

Demikian dilontarkan Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Satria Dharma dalam Petisi Pendidikan tentang Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) yang dinilai sebagai program gagal. Petisi itu dipaparkan Ketua Umum IGI Satria Dharma di depan Komisi X DPR RI, Selasa (8/3/2011), untuk mendesak Komisi X segera menghentikan sementara seluruh program SBI.
"Program SBI itu salah konsep, buruk dalam pelaksanaannya dan 90 persen pasti gagal. Di luar negeri konsep ini gagal dan ditinggalkan," kata Satria tentang isi petisi tersebut.
Menurutnya, sepuluh kelemahan mendasar program SBI itu harus dievaluasi, diredefinisi, dan perlu dihentikan. Kelemahan pertama, kata Satria, program SBI jelas tidak didahului riset yang lengkap sehingga konsepnya sangat buruk.
"Bisa dibuktikan, bahwa tidak jelas apa yang diperkuat, diperkaya, dikembangkan, diperdalam dalam SBI," tegas Satria.
Kedua, SBI adalah program yang salah model. Kemdiknas membuat panduan model pelaksanaan untuk SBI baru (news developed), tetapi yang terjadi justru pengembangan pada sekolah-sekolah yang telah ada (existing school).
Ketiga, program SBI telah salah asumsi. Kemdiknas mengasumsikan, bahwa untuk dapat mengajar hard science dalam pengantar bahasa Inggris, seorang guru harus memiliki TOEFL> 500.
"Padahal, tidak ada hubungannya antara nilai TOEFL dengan kemampuan mengajar hard sciencedalam bahasa Inggris. TOEFL bukanlah ukuran kompetensi pedagogis," paparnya.
Merusak bahasa
Satria memaparkan, kelemahan keempat pada SBI adalah telah terjadi kekacauan dalam proses belajar-mengajar dan kegagalan didaktik. Menurutnya, guru tidak mungkin disulap dalam lima hari agar bisa mengajarkan materinya dalam bahasa Inggris. Akibatnya, banyak siswa SBI justru gagal dalam ujian nasional (UN) karena mereka tidak memahami materi bidang studinya.
"Itulah fakta keras yang menunjukkan bahwa program SBI ini telah menghancurkan best practice dan menurunkan mutu sekolah-sekolah terbaik yang dijadikan sekolah SBI," tambahnya.
Di sisi lain, hasil riset Hywel Coleman dari University of Leeds UK menunjukkan, bahwa penggunaana bahasa Inggris dalam proses belajar-mengajar telah merusak kompetensi berbahasa Indonesia siswa.
Sementara itu, kelemahan kelima dari SBI adalah penggunaan bahasa pengantar pendidikan yang salah konsep. Dengan label SBI, materi pelajaran harus diajarkan dalam bahasa Inggris, sementara di seluruh dunia seperti Jepang, China, Korea justru menggunakan bahasa nasionalnya, tetapi siswanya tetap berkualitas dunia.
"Kalau ingin fasih dalam berbahasa Inggris yang harus diperkuat itu bidang studi bahasa Inggris, bukan bahasa asing itu dijadikan bahasa pengantar pendidikan," tegas Satria.
Keenam, SBI dinilai telah menciptakan diskriminasi dan kastanisasi dalam pendidikan. Sementara itu, kelemahan ketujuh menegaskan, bahwa SBI juga telah menjadikan sekolah-sekolah publik menjadi sangat komersial.
"Komersialisasi pendidikan inilah yang kita tentang, karena hanya anak orang kaya yang bisa sekolah di SBI," tandas Satria.
SBI juga telah melanggar UU Sisdiknas. Karena menurut Satria, pada tingkat pendidikan dasar sekolah publik atau negeri itu wajib ditanggung pemerintah. Kenyataannya, dalam SBI peraturan ini tidak berlaku.
Kedelapan, SBI telah menyebabkan penyesatan pembelajaran. Penggunaan piranti media pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD juga menyesatkan seolah karena tanpa itu semua sebuah sekolah tidak berkelas dunia.
"Program ini lebih mementingkan alat ketimbang proses. Padahal, pendidikan adalah lebih ke masalah proses ketimbang alat," katanya.
Kelemahan kesembilan, lanjut dia, SBI telah menyesatkan tujuan pendidikan. Kesalahan konseptual SBI terutama pada penekanannya terhadap segala hal yang bersifat akademik dengan menafikan segala hal yang nonakademik.
"Seolah tujuan pendidikan adalah untuk menjadikan siswa sebagai seorang yang cerdas akademik belaka, padahal pendidikan bertujuan mendidik manusia seutuhnya, termasuk mengembangkan potensi siswa di bidang seni, budaya, dan olahraga," ujar Satria.
Kelemahan terakhir, SBI adalah sebuah pembohongan publik. SBI telah memberikan persepsi yang keliru kepada orang tua, siswa, dan masyarakat karena SBI dianggap sebagai sekolah yang "akan" menjadi sekolah bertaraf Internasional dengan berbagai kelebihannya. Padahal, kata Satria, kemungkinan tersebut tidak akan dapat dicapai dan bahkan akan menghancurkan kualitas sekolah yang ada.
"Ini sama saja dengan menanam 'bom waktu'. Masyarakat merasa dibohongi dengan program ini dan pada akhirnya akan menuntut tanggung jawab pemerintah yang mengeluarkan program ini," kata Satria.

Asnaini, Keuchik Perempuan Pertama di Aceh Tengah

Posted by HADI SAFRIANDA On 1:45 PM No comments

TAKENGON (serambiindonesia)- Seorang ibu rumah tangga di Pegasing, Kabupaten Aceh Tengah, Asnaini (39), menjadi perempuan pertama yang menjabat sebagai kepala kampung (keuchik) di Kabupaten Aceh Tengah. Ia dilantik dan diambil sumpah oleh Camat Pegasing, Saripuddin HR SP Sabtu (12/3) di Masjid Tue Al-Qadin, Kampung Pegasing. 

Asnaini terpilih menjadi Keuchik Kampung Pegasing, setelah memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan kepala kampung yang digelar tanggal 2 Februari 2011. Dalam pemilihan, Asnaini mengungguli tiga orang kandidat lainnya yang seluruhnya pria. 

“Terpilihnya Asnaini sebagai kepala kampung merupakan pilihan masyarakat. Ini merupakan merupakan keuchik perempuan pertama yang dipilih secara demokratis di Kabupaten Aceh Tengah,” kata Camat Pegasing, Saripuddin HR SP kepada Serambi Jumat (12/3).

Ia katakan, terpilihnya Isnaini menjabat Kepala Kampung Pegasing, untuk tahun enam tahun ke depan, merupakan salah satu kesempatan yang telah diberikan kepada kaum perempuan bahwa mereka juga bisa memangku jabatan sebagai kepala pemerintahan paling bawah yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. 

“Saya optimis meskipun dari kaum perempuan tetapi dalam memimpin kampung ini, saya yakin keucik yang baru ini mampu menjalankan tugasnya,” ujar Camat Pegasing usai acara pelantikan.

Sementara itu, Isnaini yang ditanyai Serambi terkait motivasinya untuk menjadi kepala kampung menyebutkan, niatnya untuk menjadi Keucik lantaran adanya keinginan yang kuat untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik di kampung itu. “Ini merupakan kesetaraan gender. Artinya bukan hanya kaum pria yang mampu menjadi keuchik tetapi kaum perempuan juga bisa memimpin pemerintahan paling bawah,” tegas Isnaini.

Kegiatan pelantikan diikuti puluhan masyarakat dan sejumlah anggota Muspika Kecamatan Pegasing, serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Tengah dari Komisi Hukum dan Pemerintahan, Bardan Sahidi. Pelantikan itu dirangkai dengan upacara adat peusijuek kepala kampung dan camat oleh tokoh masyarakat Kampung Pegasing.(c35)